Monday, May 14, 2007

Bandung (1)

Radio jazz Bandung tadi sore, menyiarkan acara opini masyarakat Bandung mengani pilkada Kota Bandung tahun 2008. Salah satu topik yang menjadi bahasan adalah tata guna lahan Bandung sebelah utara. Penggunaan lahan untuk pemukiman yang demikian identik dengan kepentingan bisnis properti menjadi kotak konflik. Orang kuat menjadi tameng pengembang kawasan Bandung sebelah utara untuk mengelola bisnis ini. Siapa orang kuat tersebut? Disebut-sebut perwira Polri yang tinggal di Jakarta. Perannya sampai-sampai dinilai sanggup membuat kapasitas walikota mengerdil dengan sendirinya. Hebat.

Menarik memang mengamati perkembangan bisnis properti di wilayah ini. Memang enak memiliki hunian dengan pemandangan cahaya kota Bandung. Sajian alam berupa kabut di pagi hari, bunyi serangga malam yang bekerja mulai petang, sampai syahdunya dingin menusuk kulit di daerah atas tentu susah untuk dilewatkan.

Cara sederhana dan awam menangani ini:
1. Bahas dengan komprehensif tata guna lahan di Bandung sebelah utara
2. Tegaskan aturan, tegaskan penegakannya.
3. Semuanya dilakukan secara terbuka, biarkan kekuatan masyarakat menjadi daya geraknya

Teknis:
1. Tentu saja ada pembongkaran, penggantian berupa uang ganti rugi, seadanya
2. Matikan magnet aktivitas masyarakat di Bandung utara, misal cafe, pub, resort, dsb yang dinilai (duh, relatif lagi) merusak.
3. Kejaksaan, kepolisian, dan masyarakat kembali menghidupkan gerakan sesuai fungsi masing-masing


_adw
*awam, naif, dan belum berkepentingan langsung. hanya ingin melihat hijau utara Bandung, tempat ngaso sewaktu waktu dan memandangi cahaya kota. itu saja.

Turun Gunung

Sedari kecil, saya senang film kungfu. Selain karena banyak gerakan-gerakan keren pemain kungfu, cerita heroik, kisah manusiawi, dan kesederhanaan latar belakang cerita serta kesederhanaan setting film menjadi daya tarik tersendiri buat saya.

Banyak sekali film ketika saya kecil, mungkin sampai sekarang(?), yang berutur dengan setting seperti ini:

1. Ada sebuah perguruan kungfu dengan aliran tertentu, misalkan aliran elang. Perguruan ini dikepalai seorang guru dengan anak laki-laki

(hehe mulai seru kan postingannya...)

2. Ada sebuah perguruan kungfu lain dengan aliran yang berbeda dari perguruan pertama, misalkan aliran ular.
3. Kedua perguruan di atas bersaing memperebutkan pengakuran pendekar sejati (kata-kata ini keren pisan, pendekar sejati, anjir!). Suatu ketika sifat arogan kepala perguruan ular menempatkan si guru elang dan ular pada kotak pertempuran maut yang harus merenggut nyawa guru elang.
4. Maka dengan berang, anak guru elang berlatih sekeras mungkin (work hard, play hard ;p) untuk menuntut balas. Biasanya ada tokoh pengemis yang ikut mengajarkan si anak muda ini, biasanya juga jurus yang diajarkan adalah jurus mabuk atau taichi, jurus kelembutan jurus perasaan.
5. Suatu ketika, setelah siap sedia menuntut balas dengan jurus mabuk yang ampuh. Anak elang kemudian mencari guru ular. Berantem, kalah deh guru ular. Dendam terbalas, hiduplah bahagia, untuk dendam selanjutnya. Hehe.

Hal paling menarik bagi saya adalah di poin 5. Sampai suatu hari saya berpikir, kalau saya hidup di jaman seperti itu, saya tidak akan turun gunung kalau belum jadi jagoan. Paling tidak, bisa mempertahankan diri dan mendapatkan kepercayaan seorang perempuan cantik untuk diperistri hehe. Kondisi jaman sekarang, sama saja ternyata. Kalau belum cukup jagoan dari kampus, jangan berani keluar kampus. Atau sudah memutuskan mati konyol digebukin berandalan kelas kedai kopi? Harus bisa mempertahankan diri, ilmu kanuragan seperti apa yang cukup kuat diandalkan? Entah bagi temen-temen, tapi bagi saya hanya satu jawabannya : karakter. Karakter seorang pendekar sejati. Karena tidak pernah tahu ilmu yang dia punya sekarang cukup untuk lawan yang akan ditemui esok hari atau nanti sore. Meski mungkin hanya dengan alasan sepele, malakin misalnya.

Sudahkah karakter saya siap turun gunung?

Mari kita lihat jawabannya minggu ini, minggu depan, dan awal Juni 2007.

Sudah siapkah anda turun gunung?

Kita tidak akan pernah siap, tidak akan pernah.
Kita selalu siap, kapanpun.

_adw
*pendekar sejati = anjir = misi : perbaikan peradaban manusia

KUAT | kuat

Seperti apakah manusia kuat? Yang dituliskan dengan huruf KUAT atau kuat? Bagi saya mereka adalah orang-orang yang berhasil bertahan dan melewati ujian. Saya yakin, orang menjadi besar karena dia berhasil melewati ujian yang besar pula. Orang menjadi tangguh, karena berhasil melewati rintangan dengan selamat. Meski ujian akan terus ada, meski sakit akan terus menjadi pilihan. Mereka yang berhasil akan naik kelas, untuk ujian selanjutnya, demikian terus sampai batas waktu yang telah ditentukan bagi masing mereka.

Sampai hari ini, entah telah berapa peperangan yang telah saya lewati. Beberapa diantaranya saya menangkan, banyak yang saya hanya kalah telak. Dalam perjalanan menjadi pemimpin di bumi. Bahkan untuk hal sederhana saja, ke-tegas-an. Berapa kali saya kalah? Dan harus berapa kali lagi saya kalah?

Apalagi komitmen?
Apalagi ikhlas?
Apalagi kuat?

_adw
*kawan, menunggu buku raport masing-masing dengan siap, meski tak akan pernah siap!

Takut? Mulailah Bertanya Kenapa

Pertama kali saya berani membayangkan, ingin hidup di laboratorium adalah untuk berusaha mengerti lebih baik geofisika. Kini setahun setengah setelahnya, di laboratorium yang dulu saya bayangkan itu, saya didekap ketakutan. Takut tidak bisa ikut seminar, tidak mengumpulkan draft yang layak, tidak berhak sidang, atau sidangnya tidak lulus, dan akhirnya tidak wisuda juli 2007 ini. Setelah waktu dua bulan, mengolah data Gunung Guntur, sampailah saya pada langkah selanjutnya, studi tomografi. Hanya saja, program yang dibuatkan orang itu belum bisa bekerja untuk data saya. Waktu tinggal seminggu, belum ada satu gambarpun yang saya peroleh, makanya saya panik, takut, dan tidak mengerti apa yang saya kerjakan. Kemudian ada malam ini, yang saya menjadi sangat ingin duduk tenang, memikirkan alasan kenapa saya ada di lab ini. Kenapa tidak di lab sebelah? Kenapa tidak di rumah?

Kenapa harus takut? takut karena tidak sadar diri sendiri, karena tidak mengerti.

Misalkan begini, lalu kenapa kalau tidak wisuda Juli ini? ya resikonya harus bayar SPP sendiri, harus bayar biaya hidup sendiri, dan mengecewakan orang tua karena lama anaknya lulus jadi sarjana. Bukankah resiko-resiko itu semuanya masuk akal dan bisa saya tanggung?

Misalkan lagi begini, saya tidak lulus karena dinilai oleh dosen pembimbing dan penguji belum layak. Ya tinggal bekerja sekali lagi untuk membuktikan bahwa saya layak. Kalau gagal, ya sekali lagi. Sampai batas waktu yang pasti ada. Penyesalan, kekalahan itu hanya ada untuk usaha yang tidak sungguh-sungguh dari saya. Itu saja.


Terimakasih Tuhan, atas kejernihan, yang tentu saja darimu.

_adw
*tenang