Thursday, February 28, 2008

Belajar (Teori) Golf (2)

Eits, ternyata nyambung. Setelah melihat-lihat lagi semakin menarik ternyata golf ini. Membicarakan golf, malah saya jadi dapat beberapa poin:

1. Golf di Indonesia, diposisikan 'jauh' dari masyarakat kebanyakan. Hanya akrab dengan kalangan menengah ke atas. Tentu mereka yang tidak segan mengeluarkan ratusan ribu rupiah untuk sekali driving atau untuk menghabiskan 9 atau 18 hole atau ikut kejuaraan golf.

2. Karena masuk kategori olahraga, golf sebenernya nggak sesederhana dan serumit itu (?). Biasa aja, bagi saya membicarakan golf biasa aja, sementara bagi beberapa teman, untuk membicarakannya saja sudah masuk kategori 'sok ninggi', ah biasa aja ah. Am I can afford it? then the answer would be Am I have to be able to pay it when I wanna know it?

3. Menarik, melihat 'persepsi' banyak pihak tentang olahraga ini. Sungguh menarik.

Info lebih lengkap tentang golf, silakan googling, rekomendasi saya: Persatuan Golf Indonesia.

_adw

Tuesday, February 26, 2008

Berhenti Berpuisi

Kenapa diperlukan kesedihan untuk memulai lagi
Kemudian hujan banyak diperbicarakan diibaratkan
Bumi langit diibaratkan
Rasa hati diisyaratkan
Sedemikian kalut sebegitu dalam
Semakin sakit semakin tulus

Pelan-pelan bahagia mengedepan
Demikian panik mengungkapkan
Sedemikian perasaan

Berdegup siang dan malam
Bergiat bersemangat
Mengamati sekitaran yang tak kunjung paham

Permulaan dan akhrian juga
Begitu menelisik menggugat dibicarakan
Karena kuat menghanyutkan rasa
Menghangatkan relung

Sekadar hikayat rasa
Kemana diri berada kini

_adw
katanya, puisi 'Aku Ingin' Pak Sapardi telah lama membunuh karier penulis puisi tanah air, tidak demikian halnya dengan karier pembaca puisi tanah air.

Belajar (Teori) Golf

Sambil melepas penat melihat data akuisisi seismik sa-Indonesia, saya iseng liat-liat halaman pengetahuan golf, beberapa hal yang ditemukan:

1. Stick golf atau club, terdiri dari 3 jenis utama: wood untuk pukulan jauh, atau driver, untuk kepeluan tee-shot; wedge untuk pukulan menengah, mengincar area green (tempat hole); terkahir adalah putter untuk keperluan membuat goal ;). Meski banyak terdapat driving range, pukulan tersulit (katanya) justru putting. Ketiga jenis ini memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda, jadi, para pemula bisa memulai mengoleksi 3 buah club untuk masing-masing kebutuhan. Sebagai contoh, ketiga jenis club ini bisa dilihat di situs Jack Nicklause dan Mizuno.
2. Lapangan golf biasa disebut course yang kebanyakan terdiri dari 9 dan 18 hole. Terdiri dari hole yang memiliki par(pukulan maksimum yang bisa dilakukan dari tee sampai hole) yang biasanya memiliki nilai par dari 3,4, dan 5. Pemain berkompetisi untuk mendapatkan nilai sekecil mungkin, kalo bisa ya negatif. Misalkan untuk course dengan 18 hole, par maksimumnya 72, nah untuk menyelesaikan ke-18 hole itu kita membutuhkan berapa kali pukul?
3. Pemain amatir (bukan profesional), mengenal sistem handicap. Perhitungan aritmatika sederhana yang ditetapkan oleh The R & A, The Royal and Ancient Golf Club di Scotlandia melalui golf club di masing-masing negara yang nilainya bervariasi. Perhitungannya nanti akan menentukan kemenangan seorang pemain. Makin kecil handicap-nya makin oke tuh pemain amatir.
4. Membership of Golf Club biasanya berlaku untuk beberapa tahun, juga dapat diperjualbelikan. Sebagai contoh, keanggotaan Klub Golf Senayan bisa dijadikan acuan harga. Bagi mereka yang bukan anggota, biasanya dikenakan biaya green yang harganya bervariasi beradasarkan jam dan hari, sebagai contoh lain dapat dilihat di situs Dago Golf Bandung.
5. Selain clubs, sebaiknya kita menggunakan sepatu golf untuk digunakan saat bermain agar tidak merusak green (beberapa klub mewajibkan penggunaannya), topi pelindung dari panas, payung pelindung hujan, tas golf, sarung tangan, dan jika diperlukan tentu seorang caddy sebagai helper dan teman ngobrol membahas keputusan yang diambil ketika hendak menghajar bola.
6. Belajar teori sudah, megang club sudah, pergi ke course sudah, bermain? belum, driving? belum. Yeah, when money no object lah.

_adw
*sekadar tau, dikit pula

Friday, February 22, 2008

Khutbah Jumat yang Menawan

Terbangun mendekati jam 11, whew! Tepar ternyata...

Bergegas mandi, terus ke mesjid sebelah kosan, Mesjid Dindikmenti Prov DKI (Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi).

Khutbahnya mantap ternyata, demikian:

Di awal pembicaraan Sang Khatib mengingatkan tentang arti usia dan umur. Katanya, usia adalah angka yang habis dibagi lama kita hidup di bumi. Sementara umur adalah sederet waktu yang kita pergunakan dengan baik, maksudnya diisi dengan karya dan ibadah. Beliau menyebut angka harapan hidup orang Indonesia rata-rata yang sekitar 60-70 tahun. Usia kita sekarang, jadi faktor pengurang usia harapan hidup itu. Berapa kira-kira angkanya? Saya 24, harapan hidup katakanlah 60 tahun, berarti ada saldo 36 tahun. Terlihat lama bukan? Karena belum dijalani, katanya. Tengok coba ke 24 tahun yang telah berlalu. Terasa sebentar bukan? Karena telah dijalani, dan yang menjadi pengingat saya, hanya karya yang baik dan yang buruk saja. Waktu antara yang diisi dengan kebingungan sulit saya tata dalam skema sejarah hidup saya, duh!


Kemudian tentang jasad dan ruh. Jasad yang 96 % akan kembali ke tanah, ke air, sesuai unsur kimia penyusun tubuh ini. C, N, O, dan H. Seperti iklan air minum (mineral) dalam kemasan, "Sebagian besar tubuh kita terdiri dari air". Kemudian ruh itu, setelah berpisah dengan jasad akan menunggu giliran bertemu titik akhir ya itu bertemu Sang Pencipta. Diperlihatkanlah bagaimana kita, manusia, memanfaatkan kesempatan hidup. Astagfirullah Al Adhiim.

Terakhir, Khutbah di isi dengan cerita Raja Harun Al Rasyid di Baghdad yang berdiskusi dengan seorang ulama negeri itu. Sang Ulama mempersilakan Sang Raja meminum air putih yang tersedia. Sambil bertanya kepada Sang Raja:

"Apa yang baginda lakukan, jika segelas air ini, sangatlah sulit di dapat?"
(termenung) "Hmm...Aku akan menukar setengah hartaku untuk segelas air ini, tentunya, karena aku tidak bisa hidup tanpa air"
"Silakan diminum Baginda"
"Kemudian, jika air yang barusan baginda minum, tidak bisa keluar dengan cara yang wajar dari tubuh Baginda, kemudian menyebabkan kerusakan organ tubuh Baginda, apa yang akan Baginda lakukan?"
(termenung) "Hmm..Akan kutukar dengan setengah lagi kekayaanku..."

Demikian sederhana dan lemah nya manusia. Saya yang terlalu sering melupa, betapa segelas kopi adalah mahal. Betapa segelas air putih adalah mahal. Betapa rasa bersukurlah yang membuat semua yang saya terima menjadi lebih indah.

Terimakasih pelajarannya, Ustad, semoga kebaikan lah yang terus Anda tularkan, semoga Yang Maha Baik memuliakan Anda.

_adw

Thursday, February 21, 2008

Solat Kami

Diambilnya gerakan cepat
Dirasanya hening sejenak

Ia lanjutkan terus bergerak
Kadang menunduk kadang mendongak

Kemudian gerakan melipat yang fasih sedari bocah
Bergegas berdiri terus berlalu

Beberapa jam kemudian
Ia kembali mengulang aksi seperti tadi

Bergegas berdiri terus berlari.

Dan apatah sampai tuan kami?
Dan apatah rasa ini telah begitu bebal
Oleh silau dan gemuruh
Oleh gaduh dan lelah
Oleh sedemikian rasa bersalah

Seperti ada yang tak terus terucap
Seperti ada yang lunglai di dalam sini
Seperti gelap yang demikian kasar

Kapan bisa begini?
Terakhir kami menunduk menetesnya entah apa karenanya

_adw
*(persepsi kami) kami tak layak ke surgamu
*tentu kami tak sanggup menerima azab mu (diberi lapar saja gaduh, diberi sesak saja resah, diberi miskin saja panik, diberi kaya saja lupa)
*tentunya ada bijak yang mahabijak, tentunya tuan memaafkan kami, tentunya tuan menempatkan kami dalam ciptaan yang terbaik pula
*maafkan kami tuan
*maafkan...

Puisi Pekerjaan (1)

Harusnya dimulai sejak pagi
Sebelum hari membuka mata
Kemudian dibuat nyaman seadanya
Agar seharian bekerja tenang adanya

Tak elok terus berkutat
Saat kerangka nya tidak demikian jelas
Juga pilihan yang disediakan
Sebenarnya tambahan tangan
Sebenarnya tambahan kaki

Sebentar otakmu ditambatkan
Selebihnya pekerjaan hati

Hey! Kenapa tetap terjaga
Sementara seisi kota kerap terlelap
Sebelum senja merapat dekat

Kemudian saya bermimpi
Sebentar saja, tentang beberapa hari yang belum terjadi
Saat rekening bertambah gemuk

Kemudian saya menjadi murung
Seperti tidak sedang melakukan apa-apa
Bukannya ini tugas negara

Lalu siapa yang mengabdi pada negara?
Hanya pada kepentingan periodik para pemutus wacana

Kemudian saya tertidur
Tanpa tau bangun harus mulai darimana

Tentu saja besok hari jumat,
Saat sebenarnya saya bermimpi
Saat sebenarnya kami terjaga
Membaca seisi kota

Tuesday, February 19, 2008

Sekolah Lagi Yuk

Adalah wajar, bagi lulusan baru atau lulusan lama, ingin melanjutkan kuliah ketingkat selanjutnya. Apalagi jika memiliki alasan yang kuat, bukan hanya bingung menghadapi kehidupan setelah lulus. Karena saya manusia biasa, tentu perasaan ingin melanjutkan kuliah ada. Awalnya, saya mencoba ke tempat dulu Kuliah Riset Musim Panas di Canberra, Research School of Earth Science ANU. Pak Profesor menyatakan saya boleh kuliah disana, dengan beasendiri atau mencari dari sumber formal seperti AUSAid atau beasiswa lain. Karena IPK saya tidak sampai pada batas minimal yang boleh melamar beasiswa, tentunya saya tidak punya hak. Kemudian di pertengahan Januari, saya mengirim surel ke Profesor tadi, selain bertanya kembali apakah masih boleh saya melamar untuk melanjutkan studi disana, ditambah dengan info baru adanya beasiswa ikatan dinas Dikti. Sampai sekarang, belum ada jawaban.

Suatu ketika, saya ngobrol tentang topik kuliah di luar negeri. Saya bertanya, kenapa kita harus kuliah di luar negeri, (jika di dalam negeri juga ada jurusan dimaksud)? Saya sendiri butuh waktu lama untuk menjawabnya. Otak sederhana saya hanya berhasil memberi beberapa alasan, yang juga tentunya sederhana, tidak terlalu analitis, berikut:
1. Kebanggaan. Hal ini penting menyangkut percaya diri, sebagai peneliti.
2. Transfer pengetahuan. Meski ada internet, tapi merasakan sendiri berjibaku dengan tuntutan lulus terhormat, dan mendapatkan tambahan pengetahuan (katakanlah) untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan untuk Indonesia.
3. Belajar sikap hidup, sikap meneliti, sikap mental, anak ilmu pengetahuan, yang mencari dan berusaha mempertanggungjawabkan kebenaran yang diyakininya.

Jika tujuannya ikut membangun kemandirian bangsa, apakah tidak bisa dicapai dengan bekal ilmu yang didapat di dalam negeri? Toh nantinya, apapun itu akan diterapkan dengan kondisi negeri ini. Tentunya masih akrab dengan angka-angka antah berantah proyek, sikap mental masyarakat kebanyakan yang apriori dengan isu ilmiah yang tidak populis, dan tentunya selalu ingin sesuatu yang cepat, instan, dan menyenangkan.

Saya lanjutkan berpikir tentang negara tujuan utama melanjutkan kuliah. Beberapa teman tersebar di Eropa daratan, Scandinavia, Inggris, Amerika, Jepang, dan Australia. Karena (mungkin) itulah pusat-pusat pendidikan (atau juga peradaban) dunia. Dimana posisi Cina dan Mesir yang sempat mengalami puncak peradaban? Hey! Juga Indonesia yang katanya kaya akan sumberdaya alam dan potensi bencana?

Modal yang diperlukan tidak banyak sebenanya, TOEFL minimal 550, IELTS minimal 6,5, GRE memadai, dan dua atau tiga surat rekomendasi. Juga uang sekitar 40 ribu dollar Amerika setahun untuk bea hidup dan bea kuliah. Setelah lulus, terus apa? Jelasnya, makin gede tuh utang bagi bangsa, menjadi bagian kecil yang beruntung, tentu ikut betanggungjawab atas bagian besar yang kurang beruntung.

_adw
*mari bersabar dan mengusahakan yang terbaik.
*tribute untuk Triyani, Genia, Anto, Aan, Dicky

Monday, February 18, 2008

Visit Indonesia Year 2008

Setelah bertubi-tubi didatangi frase yang dijadikan judul di atas, saya berpikir sejenak, kemudian membuka halaman blog saya dan memaksakan diri untuk menuliskan beberapa hal mengenai Tahun Kunjungan Indonesia 2008.

Judul di atas, dapat diterjemahkan menjadi Tahun Kunjungan (ke) Indonesia 2008, atau Tahun Pariwisata Indonesia 2008. Pertama kali saya menangkap berita ini sekilas di beberapa media cetak nasional, maka kesan yang timbul adalah pemerintah Indonesia latah secara resmi. Mengikuti tetangga, Malaysia tahun 2007 dan tentu saja Singapura yang tak henti-henti menyerukan para pelancong untuk bersenang-senang dan menyelenggarakan MICE di kota ini.

Sekilas dari situsnya saja, Indonesia sudah kalah 'menarik' dibandingkan dua negara tetangga tadi. Tapi sudahlah. Juaranya (lagi) Singapura.

Tapi mari sejenak membaca lagi peristiwa tanggal 26 Desember 2007 ketika logo dan program VIY 2008 diluncurkan Pak Mentri, yang dikedepankan adalah 7 juta wisatawan asing dan 5 milyar dollar Amerika yang dihasilkan. Padahal slogan yang disematkan di bawah logo resmi VIY 2008 adalah 100 Years of National Awakening. Saya melihat, telah terjadi pengerdilan makna, 100 tahun peringatan Kebangkitan Nasional (mungkin dimaksudkan 28 Oktober 2008). Yang dikedepankan hanya dua angka penting, 7 juta, dan 5 milyar, hehe kecil sekali. Kenapa tidak dikedepankan 100 tahun ini (katakanlah penting) adalah moment untuk mempersiapkan perayaan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, pun beragama di negeri ini?

Saat dan semangat yang tepat untuk memikirkan kembali dengan sungguh-sungguh penataan pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, politik, budaya, dan seterusnya. Jika pun pariwisata adalah alat untuk mengemas ini menjadi lebih populis, maka nilai apa yang dikemas dengan cara populis ini? Atau memang kepentingan nasional kita, yang paling besar adalah mendapatkan dollar sebanyak mungkin? Bagi saya tidak.

Visit Indonesia Year 2008 ; dengan program:
1. Revitalisasi nilai budaya bangsa
2. Dokumentasi dan penelusuran sejarah nusantara dan nasional
3. Program mencintai budaya dan pariwisata Indonesia

Baru enak dengan embel-embel tadi. Atau diganti saja Tahun Devisa Pariwisata 2008 supaya gelar Pahlawan (tepatnya Pejuang) Devisa dialih unjuk kepada mereka yang bergerak di bidang pariwisata Indonesia.

Meski dengan ragu dan rancu, saya ikut mendukung program mencintai budaya dan pariwisata nasional ini. Sabtu kemarin, 16 Februari 2008, saya dan Mas Okky melakukan perjalanan menyenangkan:

1. Mengunjungi Museum Bank Indonesia di dekat Stasiun Kota Jakarta. Cukup bagus, petugasnya ramah, dikasi tiket, tapi tak perlu bayar, interaktif, koleksi numismatik-nya membuat kami melongo.

2. Rehat di Cafe Batavia yang mashur di kalangan fotonisti. Memesan kopi hitam La Vazza yang memang enak tanpa gula. Lokasinya sekitar Museum Fatahillah, Museum Wayang, dan Museum Keramik.

3. Mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa, yang entah kenapa di foto-foto begitu bagus. Pas kami kesana, "lho kok gini?"...Ditambah dengan aksi keingintahuan dan ketidaktahuan kami tentang Batavia Sunda Kelapa Marina yang membuahkan kesimpulan, petugas keamanan di tempat ini (rumah makan, tempat sandar kapal, dan makan malam romantis di atas kapal) tidak di ajarkan ramah kepada pengunjung. Mungkin karena kami hanya berjalan kaki, mengenakan celana jins dan kaos hehe. Saya sempat bersitegang (padahal ga perlu), dan protes seadanya. Mereka yang salah tidak nanya, mereka yang bereaksi marah ketika di kontak bos nya lewat radio komunikasi setelah ngobrol dengan kami dan terheran-heran, kami masuk ke sana tanpa tanda pengenal. Restoran mana yang mewajibkan pengunjungnya mengenakan tanda pengenal ya?

Demikianlah cerita saya tentang VIY 2008, Tahun Pariwisata Indonesia 2008, ayo donk kita wisatawan domestik!

_adw