Visit Indonesia Year 2008
Setelah bertubi-tubi didatangi frase yang dijadikan judul di atas, saya berpikir sejenak, kemudian membuka halaman blog saya dan memaksakan diri untuk menuliskan beberapa hal mengenai Tahun Kunjungan Indonesia 2008.
Judul di atas, dapat diterjemahkan menjadi Tahun Kunjungan (ke) Indonesia 2008, atau Tahun Pariwisata Indonesia 2008. Pertama kali saya menangkap berita ini sekilas di beberapa media cetak nasional, maka kesan yang timbul adalah pemerintah Indonesia latah secara resmi. Mengikuti tetangga, Malaysia tahun 2007 dan tentu saja Singapura yang tak henti-henti menyerukan para pelancong untuk bersenang-senang dan menyelenggarakan MICE di kota ini.
Sekilas dari situsnya saja, Indonesia sudah kalah 'menarik' dibandingkan dua negara tetangga tadi. Tapi sudahlah. Juaranya (lagi) Singapura.
Tapi mari sejenak membaca lagi peristiwa tanggal 26 Desember 2007 ketika logo dan program VIY 2008 diluncurkan Pak Mentri, yang dikedepankan adalah 7 juta wisatawan asing dan 5 milyar dollar Amerika yang dihasilkan. Padahal slogan yang disematkan di bawah logo resmi VIY 2008 adalah 100 Years of National Awakening. Saya melihat, telah terjadi pengerdilan makna, 100 tahun peringatan Kebangkitan Nasional (mungkin dimaksudkan 28 Oktober 2008). Yang dikedepankan hanya dua angka penting, 7 juta, dan 5 milyar, hehe kecil sekali. Kenapa tidak dikedepankan 100 tahun ini (katakanlah penting) adalah moment untuk mempersiapkan perayaan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, pun beragama di negeri ini?
Saat dan semangat yang tepat untuk memikirkan kembali dengan sungguh-sungguh penataan pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, politik, budaya, dan seterusnya. Jika pun pariwisata adalah alat untuk mengemas ini menjadi lebih populis, maka nilai apa yang dikemas dengan cara populis ini? Atau memang kepentingan nasional kita, yang paling besar adalah mendapatkan dollar sebanyak mungkin? Bagi saya tidak.
Visit Indonesia Year 2008 ; dengan program:
1. Revitalisasi nilai budaya bangsa
2. Dokumentasi dan penelusuran sejarah nusantara dan nasional
3. Program mencintai budaya dan pariwisata Indonesia
Baru enak dengan embel-embel tadi. Atau diganti saja Tahun Devisa Pariwisata 2008 supaya gelar Pahlawan (tepatnya Pejuang) Devisa dialih unjuk kepada mereka yang bergerak di bidang pariwisata Indonesia.
Meski dengan ragu dan rancu, saya ikut mendukung program mencintai budaya dan pariwisata nasional ini. Sabtu kemarin, 16 Februari 2008, saya dan Mas Okky melakukan perjalanan menyenangkan:
1. Mengunjungi Museum Bank Indonesia di dekat Stasiun Kota Jakarta. Cukup bagus, petugasnya ramah, dikasi tiket, tapi tak perlu bayar, interaktif, koleksi numismatik-nya membuat kami melongo.
2. Rehat di Cafe Batavia yang mashur di kalangan fotonisti. Memesan kopi hitam La Vazza yang memang enak tanpa gula. Lokasinya sekitar Museum Fatahillah, Museum Wayang, dan Museum Keramik.
3. Mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa, yang entah kenapa di foto-foto begitu bagus. Pas kami kesana, "lho kok gini?"...Ditambah dengan aksi keingintahuan dan ketidaktahuan kami tentang Batavia Sunda Kelapa Marina yang membuahkan kesimpulan, petugas keamanan di tempat ini (rumah makan, tempat sandar kapal, dan makan malam romantis di atas kapal) tidak di ajarkan ramah kepada pengunjung. Mungkin karena kami hanya berjalan kaki, mengenakan celana jins dan kaos hehe. Saya sempat bersitegang (padahal ga perlu), dan protes seadanya. Mereka yang salah tidak nanya, mereka yang bereaksi marah ketika di kontak bos nya lewat radio komunikasi setelah ngobrol dengan kami dan terheran-heran, kami masuk ke sana tanpa tanda pengenal. Restoran mana yang mewajibkan pengunjungnya mengenakan tanda pengenal ya?
Demikianlah cerita saya tentang VIY 2008, Tahun Pariwisata Indonesia 2008, ayo donk kita wisatawan domestik!
_adw
Judul di atas, dapat diterjemahkan menjadi Tahun Kunjungan (ke) Indonesia 2008, atau Tahun Pariwisata Indonesia 2008. Pertama kali saya menangkap berita ini sekilas di beberapa media cetak nasional, maka kesan yang timbul adalah pemerintah Indonesia latah secara resmi. Mengikuti tetangga, Malaysia tahun 2007 dan tentu saja Singapura yang tak henti-henti menyerukan para pelancong untuk bersenang-senang dan menyelenggarakan MICE di kota ini.
Sekilas dari situsnya saja, Indonesia sudah kalah 'menarik' dibandingkan dua negara tetangga tadi. Tapi sudahlah. Juaranya (lagi) Singapura.
Tapi mari sejenak membaca lagi peristiwa tanggal 26 Desember 2007 ketika logo dan program VIY 2008 diluncurkan Pak Mentri, yang dikedepankan adalah 7 juta wisatawan asing dan 5 milyar dollar Amerika yang dihasilkan. Padahal slogan yang disematkan di bawah logo resmi VIY 2008 adalah 100 Years of National Awakening. Saya melihat, telah terjadi pengerdilan makna, 100 tahun peringatan Kebangkitan Nasional (mungkin dimaksudkan 28 Oktober 2008). Yang dikedepankan hanya dua angka penting, 7 juta, dan 5 milyar, hehe kecil sekali. Kenapa tidak dikedepankan 100 tahun ini (katakanlah penting) adalah moment untuk mempersiapkan perayaan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, pun beragama di negeri ini?
Saat dan semangat yang tepat untuk memikirkan kembali dengan sungguh-sungguh penataan pendidikan, ekonomi, sosial, keamanan, politik, budaya, dan seterusnya. Jika pun pariwisata adalah alat untuk mengemas ini menjadi lebih populis, maka nilai apa yang dikemas dengan cara populis ini? Atau memang kepentingan nasional kita, yang paling besar adalah mendapatkan dollar sebanyak mungkin? Bagi saya tidak.
Visit Indonesia Year 2008 ; dengan program:
1. Revitalisasi nilai budaya bangsa
2. Dokumentasi dan penelusuran sejarah nusantara dan nasional
3. Program mencintai budaya dan pariwisata Indonesia
Baru enak dengan embel-embel tadi. Atau diganti saja Tahun Devisa Pariwisata 2008 supaya gelar Pahlawan (tepatnya Pejuang) Devisa dialih unjuk kepada mereka yang bergerak di bidang pariwisata Indonesia.
Meski dengan ragu dan rancu, saya ikut mendukung program mencintai budaya dan pariwisata nasional ini. Sabtu kemarin, 16 Februari 2008, saya dan Mas Okky melakukan perjalanan menyenangkan:
1. Mengunjungi Museum Bank Indonesia di dekat Stasiun Kota Jakarta. Cukup bagus, petugasnya ramah, dikasi tiket, tapi tak perlu bayar, interaktif, koleksi numismatik-nya membuat kami melongo.
2. Rehat di Cafe Batavia yang mashur di kalangan fotonisti. Memesan kopi hitam La Vazza yang memang enak tanpa gula. Lokasinya sekitar Museum Fatahillah, Museum Wayang, dan Museum Keramik.
3. Mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa, yang entah kenapa di foto-foto begitu bagus. Pas kami kesana, "lho kok gini?"...Ditambah dengan aksi keingintahuan dan ketidaktahuan kami tentang Batavia Sunda Kelapa Marina yang membuahkan kesimpulan, petugas keamanan di tempat ini (rumah makan, tempat sandar kapal, dan makan malam romantis di atas kapal) tidak di ajarkan ramah kepada pengunjung. Mungkin karena kami hanya berjalan kaki, mengenakan celana jins dan kaos hehe. Saya sempat bersitegang (padahal ga perlu), dan protes seadanya. Mereka yang salah tidak nanya, mereka yang bereaksi marah ketika di kontak bos nya lewat radio komunikasi setelah ngobrol dengan kami dan terheran-heran, kami masuk ke sana tanpa tanda pengenal. Restoran mana yang mewajibkan pengunjungnya mengenakan tanda pengenal ya?
Demikianlah cerita saya tentang VIY 2008, Tahun Pariwisata Indonesia 2008, ayo donk kita wisatawan domestik!
_adw
0 komentarnya:
Post a Comment
<< Home